Jangan Benci Aku Seperti Pelaku Kriminal
Manusia sebagai khalifah di bumi tentu mempunyai pengalaman tersendiri dalam berinteraksi dengan sesamanya. Interaksi tersebut bisa berupa interaksi orangtua dengan anaknya, suami dengan isterinya, ketua dengan anggota organisasinya, ustadz dengan jamaahnya, dan lain sebagainya.
Seberapa bagus pun interaksi yang terjadi, potensi terjadinya masalah pasti ada, baik besar maupun kecil. Hal ini merupakan keniscayaan selama manusia masih hidup. Manusia yang masih hidup mempunyai _karep_/keinginan. Hal tersebut satu sama lain sangat mungkin berbeda.
Seorang ibu menginginkan anaknya bangun sahur jam 3.30, tetapi anaknya tersebut masih ingin tidur, maka ini menjadi masalah karena keinginan ibu berbeda dengan kenyataan yang ada.
Secara alami, manusia tidak menyukai masalah. Dengan demikian, ketika menemuinya, responnya pun berbeda-beda. Semua itu tergantung kondisi hati masing-masing. Sebagaimana kita tahu, hati merupakan sumber dari semua rasa. Puas, kecewa, marah, bahagia, qonaah, benci, cinta, semua ada disana.
Maka siapapun kita, entah sebagai orangtua, anak, ketua organisasi, guru, dosen, pimpinan, ketua RT, akan sangat baik kalau kita selalu meng-upgrade kemampuan pengelolaan rasa itu. Sebagaimana judul tulisan ini, khususnya tentang benci, sebagai orangtua misalnya, ketika orangtua memerintahkan anak untuk nyapu halaman, ternyata setiap kali ia nyapu hasilnya belepotan. Disana bersih, dibagian sini masih kotor. Tak perlu orangtua membenci anaknya, dan kami kira tak ada orangtua yang membenci anaknya. Sudah mau nyapu itu pun sudah sangat bagus.
Lagi, sebagai pimpinan misalnya. Ketika memberi tugas kepada anggotanya, maka jika tugas tidak tertuntaskan dengan baik, ya tidak perlu sampai membenci, wong ya kemampuannya baru sampai segitu. Ibarat kata " _bocah kemampuane tekane lagi sakmono, mosok yo arep di pekso?_", kan begitu.
Lalu, apa sih indikator/tanda-tanda membenci itu? Diantaranya adalah dada terasa sempit, pikiran tidak dapat berfikir secara obyektif, membuat tidak nyenyak tidur serta tidak enak makan, beda-beda tipis lah sama jatuh cinta, wkwk, intinya tidak nyaman. Energi dan pikiran yang terkuras pun lebih besar.
Maka dari beberapa permisalan tersebut, baik dirumah, di masyarakat, dalam organisasi, dalam instansi, dll. Sangat tidak seimbang jika sampai membenci. Apalagi sampai tahap membenci layaknya kepada pelaku kejahatan/ kriminal. Energi, waktu, dan pikiran yang dikeluarkan sangat tidak sepadan dengan yang didapatkan.
Dari tulisan yang panjang (menurut ukuran whatsapp) ini, apa sih tujuannya?
Akhirnya, tujuan dari tulisan ini adalah ajakan untuk saling memaafkan, saling memberikan toleransi, menjadi umat pertengahan.
Sebagaimana momen idul Fitri kali ini, pasti aktifitas memberi dan meminta maaf ada disekitar kita. Cek saja, sudah berapa pesan whatsapp yang masuk? Apalagi yang copy-kirim-copy-forward. Maka, turun naiknya kondisi hati merupakan dinamika yang pasti. Dengannya itu sangat memungkinkan timbulnya kerenggangan dalam kehidupan.
Untuk itulah tulisan ini dibuat, untuk memperluas cara pandang kita, bahwa yang sempurna tetaplah Allah Subhanahu Wata'ala.
Kami minta maaf atas kesalahan dan kekurangan kami pada panjenengan. Maaf juga atas kekecewaan yang mungkin terjadi akibat kami. Semoga Allah mengampuni dirimu, diriku, dan memperbaiki keadaan panjenengan.
Taqabbalallahu minna waminkum
Salam,
Agus Tri Yuniawan